Surabaya, SP – Remaja adalah aset penting sebuah negara, pentingnya memiliki generasi muda yang sehat jasmani dan rohani akan mampu membuat bangsa ini semakin kuat, tapi apa yang terjadi jika banyak remaja kita yang mengalami permasalahan dengan kesehatan mental?
Pada tahun 2022, dirilis sebuah survei tentang kesehatan jiwa remaja nasional ( I-NAMHS), dari survei tersebut diketahui jika sebanyak 17 juta remaja di Indonesia, dengan rentang usia 10 – 17 tahun memiliki masalah kesehatan mental.
Sebuah angka yang sangat memprihatinkan dan tidak bisa diabaikan begitu saja. Tidak sedikit upaya yang dilakukan untuk mengatasi permasalahan tersebut, psikoedukasi yang berkaitan dengan mental illnes, sering dilakukan, tujuannya adalah untuk mengugah kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan mental.
Berdasarkan dari kegelisahan itu, maka komunitas MGBK (Musyawarah Guru Bimbingan Konseling) SMK kota Surabaya bekerja sama dengan Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya, mengadakan seminar sehari dengan sasaran guru Bimbingan Konseling.
Seminar tersebut mengambil sebuah tema yang menarik yaitu Pemberdayaan Guru BK SMK dengan judul Membangun Resiliensi Peserta Didik, seminar tersebut bertujuan untuk membuka kesadaran jika sekolah dalam hal ini melalui guru BK memiliki peranan penting dalam membangun resiliensi peserta didiknya.
Pendidikan resiliensi atau kemampuan untuk bertahan, beradaptasi dan bangkit dari situasi sulit perlu diajarkan kepada anak-anak sedini mungkin, agar mereka menjadi tangguh di masa depan.
Menurut kepala pusat layanan Psikologi Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya,Dr. Isrida Yul Arifiana, M.Psi.Psikolog, secara teori, resiliensi adalah proses mengatasi permasalahan seperti gangguan, tekanan, kekacauan atau tantangan hidup.
Kemampuan individu mengatasi permasalahan sebagai hasil dari situasi yang dihadapi, contoh di lingkungan sekolah adalah, peserta didik yang mengalami berbagai permasalahan dan kekacauan karena stress akademik, kemudian menggunakan kekuatan personal untuk tumbuh lebih kuat dan berfungsi secara lebih baik dianggap sebagai individu yang resiliensi.
Dalam pemaparanya Dr. Isrida Yul Arifiana, M.Psi, Psikolog, mengatakan peserta didik yang resiliensinya tidak baik, maka akan muncul dampak negatif, antara lain munculnya problem akademik, contohnya adalah siswa yang membolos karena bermasalah dengan ketidaksesuaian jurusan, atau bermasalah dengan nilainya, munculnya problem relasi sosial contoh, siswa yang memiliki problem dengan self esteemnya, dan muncul problem perilaku bermasalah.
3 faktor penting yang berperan dalam resiliensi siswa ( Faktor protektif ) yaitu :
Kepribadian Individu meliputi, kemandirian, penerimaan diri,ketekunan, efikasi diri, konsep diri, self esteem, dll
Lingkungan Makro meliputi, kesejahteraan sekolah, konsisi sekolah, spriritual dan agama.
Lingkungan Mikro meliputi, dukungan sosial, hubungan keluarga, hubungan teman sebaya.
Pihak sekolah, melalui guru BK bisa melakukan upaya untuk meningkatkan resiliensi peserta didik yaitu dengan ;
Keterlibatan sosial, membangun hubungan dengan peserta didik secara positif, meningkatkan keterlibatan peserta didik dalam berbagai aktivitas yang menghubungkan dengan rekannya dan guru (misalnya menjadi pendengar aktif bagi peserta didik).
Pembentukan kesadaran dalam diri, mendorong peserta didik untuk peduli pada diri sendiri, memperhatikan kesehatan fisik mereka, hobi atau hal yang mereka minati.
Mindfullness, mengajak peserta didik untuk sadar dan fokus akan satu hal satu waktu, fokus pada tujuan dan beri penghargaan pada diri.
Evaluasi Ketercapaian, mengajak peserta didik untuk mengevaluasi terkait hal-hal yang telah dicapai dan memberikan makna akan hasil yang telah dicapai.
Tentukan Prioritas,membantu peserta didik untuk menyusun skala prioritas dan belajar untuk mengelolanya.
Beri kesempatan pada peserta didik untuk mengekspresikan apa yang mereka rasakan, berikan mereka feedback, sehingga mereka dapat belajar dan bertumbuh.
Sementara itu, Riska Willyanti Handayani, Spd, selaku praktisi pendidikan dan juga guru BK SMK Negeri 5 Surabaya, memaparkan jika terdapat alternatif untuk mendorong resiliensi, yaitu :
Outrreach and Psychoeducation (Penjangkauan dan Psikoedukasi) melalui berbincang, lokakarya, roadshow, kampanye, media sosial.
Screening and Service Linkage (Skrining dan Keterkaitan Layanan) meliputi Informasi dan rujukan, penyaringan dan rekomendasi.
Basic Emotional Support (Dukungan Emosional Dasar) melalui, Pemantauan, pendampingan konseling, dukungan sebaya, support group, lokakarya, pembangunan ketahanan.
Caregiver Engagement and Support (Keterlibatan dan Dukungan Wali) melalui, Berbincang, Lokakarya.
Dukungan penuh dari lembaga dan seluruh sumber daya yang ada di sekolah akan sangat membantu bagi peserta didik untuk bisa membangun reseliensinya, kesadaran akan pentingnya hal tersebut perlu dimunculkan, bukan hanya terbatas pada guru BK saja, tetapi untuk selutuh pendidik yang berada dalam instansi.
Dr. Isrida Yul Arifiana, M.Psi, Psikolog, menekankan pentingnya empati bagi pendidik agar bisa membantu peserta didik memabangun resiliensinya.
Namun ada hal penting lain yang juga ditekankan oleh Dr. Isrida Yul Arifiana, M.Psi, Psikolog,jika orangtua dan keluarga tetap memegang peran yang sangat penting dalam membangun daya resiliensi remaja.
Dalam prosesnya, peran orangtua, keluarga dan sekolah akan sangat membantu peserta didik untuk membangun resiliensi, sebab ketiga hal tersebut adalahi support system terbesar bagi peserta didik.
Karenanya, dalam membangun resiliensi peserta didik, diperlukan kerjasama yang sinergis dengan pihak-pihak terkait.
Harapan besarnya adalah ketika daya resiliensi remaja telah terbangun maka akan bisa membantu mereka untuk menjadi remaja yang berdaya, berperilaku positif dan memiliki kesahatan mental yang terjaga. (red)





